Sabtu, 27 November 2010

Al Munjiyat: Hal-hal yang membuat jiwa utuh

Rusaknya jiwa kebih berbahaya dari rusaknya raga. Ketika kaki rusak, mungkin hanya sulit berjalan.  Ketika tangan yang rusak, mungkin hanya sulit mengambil. Namun jika yang rusak adalah jiwa, hutan, lautan, dan bahkan bumi bisa rusak berat.

Al Munjiyat, hal-hal yang mengutuhkan jiwa
Hal-hal yang dinggap muia belum tentu membuat kita mulia. Harta dan jabatan belum tentu membuat manusia mulia. Kemuliaan tidak melekat pada raga, tetapi ia melekat pada kehidupan.
"Ya Allah jadikan jiwa kami, jiwa yang selalu menjiwai hidup ini dengan kemuliaan.
Memahami al munjiyat sama pentingnya degan memahami kehidupan.

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا
Demi jiwa (dengan) segala penyempurnaannya (Q.S. Asy Syams: 7)

Pada awal penciptaannya, jiwa dicipta oleh Allah dalam keadaan utuh. Perkembangan hidup manusialah yang membuat jiwa manusia terkadang menjadi retak, bahkan pecak.  Jiwa yang utuh itu saat ini sedang hidup di dalam raga kita. Di saat manusia hidup, jiwa tersimpan di dalam raga. Dan ketika mati, jiwa akan berpindah ke alam yang lain. Maka dapat kita lihat, jiwa lebih penting daripada raga. Namun pada kenyataannya, manusia seringkali memperhatikan raganya daripada jiwanya. Kesejatian adalah melihat diri kita sebagaimana Allah melihat diri kita, yakni jiwa. Raga yang dihidupi jwa yang utuh akan memandang hiduo ini secara utuh. Melihat gajah hanya dar depannya saja atau belakangnya saja, tetapi lihatlah secara utuh dari berbagai sudut.
Gelas yang utuh akan bermanfaat dalam menampung air untuk diminum. Hati itu seperti gelas, jika ia utuh maka segala kebaikan akan tertuang utuh ke dalamnya. Jiwa itu memang unik-ajaib, ia mampu mengolah apaun menjadi kebaikan. Ibarat gelas ajaib, jika ada air comberan ke dalamnya, dapat seketika air itu dapat diolah menjadi selezat susu jika diminum. Demikian pula jiwa, segala peristiwa pasti akan diterima/tertuang dalam tampungan jiwa. Baik peristiwa baik maupun seburuk-buruk peristiwa pasti masuk ke dalam jiwa. Jiwa yang utuh akan membuat segala peristiwa yang semula buruk menjadi lezat dan nikmat. Segala peristiwa serasa lapang dan menyenangkan.Ketika diri dikhianati

Benturan sekeras apapun akan membuat jiwa semakin kuat, bukan membuat jiwa semakin pecah. Itulah  jiwa yang utuh.  Ibarat petinju, ia menjadi kuat bukan karena jarang kena tinju atau benturan, tetapi latihan-latihan beratlah yang membuatnya ia menjadi tahan banting. Maka, benturan-benturan dalam hidup adalah sumber kokoh utuhnya jiwa.

Maka yang terpenting kini adalah merancang benturan. Yang namanya benturan memang jangan ditunggu. Ibarat petinju, ia bukan menghindari benturan. Tetapi melatih dirinya dengan benturan-benturan agar ketika dihadapkan pada pertandingan sebenarnya ia sudah lebih siap. Ibarat mencubit diri sendiri, kita tidak merasa sakit, karena tubuh sudah menyiapkan diri. Tetapi jika dicubit orang lain kita tidak siap hingga kesakitan.

Lalu, adakah yang senang benturan?
Tentunya benturan itu melelahkan, Benturan dengan suami, dengan istri, dengan keluarga, sangat tidak mengenakkan. Ya, karena memang benturan adalah hadirnya segala yang tidak disukai dalam hidup. Kapan manusia merasa tidak suka? Apa yang bisa kita simpulkan? Umumnya manusia tidak suka kalau kesenangan dunianya terenggut apapun penyebabnya. Sandal hilang? Tidak senang, karena sebagian kecil dari dunianya telah terenggut. Terlambat nonton bola? Tidak senang karena imam sholat isya yang kepanjangan bacaannya. Benturan itu seringkali ketika dihadapkan dengan privasi kesenangan dunia.
Maka bagaimana merancang benturan?
Datangilah kesenangan dunia. Setelah itu ambil dunianya, dan jangan ambil segala kesenangannya.
Misal:
Bersahabatlah dengan orang-orang kaya, tapi jangan mengambil manfaat dari kekayaannya.
Datangilah undangan walimah, lantunkan do'a barokah untuknya, dan tinggalkan makanan minuman lezatnya.
Datangilah tempat-tempat yang penuh gemerlap kesenangan duniawi, dan tetapkanlah diri dalam hangatnya selimut keindahan ukhrowi.

Lalu bagaimana program perancangan benturan ini akan membuat jiwa kita semakin utuh?
Kita harus paham rumus dari menjaga utuhnya jiwa, yakni:
3M --> Menerima, Menolak, Menikmati
Jangan menerima yang mestinya menolak, atau menolak yang mestinya menerima. Ini yang membuat jiwa manusia babak belur.
  • Menerima segala genangan kehidupan yang tidak disukai. Ikhlas adalah nikmat yang tidak kelihatan dan lebih mempunyai nilai istimewa. Bukankah segala sesuatu yang baik tetapi tesembunyi menjadi lebih mulia daripada diumbar-umbar. Orang kaya belum tentu merasa dirinya kaya, dan orang qonaah akan merasa dirinya kaya betapapun hidupnya. Ibaratnya musibah adalah pil pahit. Pil pahit yang kita tidak disukai jika kita terima dan ia telan dengan air tidak akan menjadi pahit dan bahkan menjadi kebaikan di dalam perut, sedangkan jika kita menolak maka pil pahit akan tertahan terus di lidah dan rasa pahit itu akan terasa terus-menerus.
  • Menolak segala kesenangan dunia kecuali  kalau kita membutuhkannya. Kesusahan adalah obat mujarab hidup untuk membentuk jiwa yang kuat. Namun Allah tidak berkehendak memberikan manusia kesulitan, bahkan manusia harus berusaha menghilangkannya. Jika kesenangan dunia itu menjadi kebutuhan maka ambillah. Namun jika hanya menjadi keinginan maka tolaklah.
  • Menikmati masa-masa berbenturan melawan nafsu. Agar segala benturan itu terasa nikmat, bayangkan saja akibat dari tiap benturan itu. Benturan dengan hawa nafsu sangatlah berat, namun bayangan akan surga menjadi kenikmatan yang mengalahkan kesulitan.

Sabtu, 30 Oktober 2010

Memahami Musibah dengan Bahasa Hati

Allah swt mengaruniakan jiwa manusia dalam keadaan utuh, sebagaimana tertulis di Al Quran Q.S Asy Syams: 7. Jika manusia sudah rusak jiwanya, maka akan rusak pula kemanusiaannya.  Maka mereka yang rusak jiwanya, tidak terlihat lagi ia sebagai manusia yang utuh.

Jiwa yang utuh akan membuat kita memandang hidup ini secara utuh. Orang yang melihat hidup tidak utuh maka ia akan mudah mengalami kesalahan persepsi, karena hanya melihat sesuatu hanya dari satu sisi saja.

Jiwa yang utuh memandang musibah tidak dengan kesusahan hati. Yang dekat dengan kita saat ini, adalah hujan abu. Tidak ada orang yang bersukaria dengan hujan abu. Namun orang yang utuh jiwanya akan merasa ini adalah kenikmatan, karena Allah membelajarkan pada mereka akan nikmatnya udara bersih. Mereka tidak akan menyesalkan apa yang terjadi dari hujan abu.


Ya.
Hari ini, empat hari yang lalu, gunung yang nampak tenang itu tiba-tiba bergemuruh berguncang, membawa kedahsyatan yang memalapetaka. Tiba-tiba saja puluhan tubuh terkulai lemas tak berdaya.
Kita pun hanya bisa menengadah sembari berkata " Ya Allah kami hanya pasrah kepada-Mu... Maafkan kami... Terimalah mereka yang berpulang pada-Mu dengan melapangkan alam kubur mereka.."

Betapa debu yang halus dapat meluluhlantakkan kehijauan di puncak gunung. Betapa debu yang halus dapat membekukan hewan-hewan.  Lalu bagaimana jiwa yang utuh memandang hal ini ?
Jiwa yang utuh memahami musibah dengan bahasa hati.

Kalimat-kalimat media banyak yang mengutarakan berita dengan tidak menggunakan bahasa hati, coba perhatikan:
"Jumlah korban tewas telah mencapai ratusan jiwa akibat dari keganasan merapi"
Apa yang kita rasakan? Nyamankah hati kita?
Coba bayangkan mereka yang menjadi korban bencana membaca hal ini. Seolah mereka diajak untuk tidak ridho terhadap kehendak Allah. Seolah menyalahkan merapi atas kengerian yang terjadi. Lalu bagaimanakah bahasa hati?
Ketika mendapati pagi hari dengan rumah dan halaman serta jalanan terselimuti abu, bahasa hati akan mengungkapkan:
"Subhanallah, astagfirullah.. Maha Kuasa Engkau ya Allah, Engkau lah yang berkuasa membawa abu yang jauh hingga ke tempat kami"

Musibah adalah cara Allah agar kita "berkesempatan" untuk berbicara dengan bahasa hati, melebihi bahasa akal rasionalitas manusia. Beginilah bahasa hati yang sebenarnya:
  1. Hati menyadari bahwa musibah ini terjadi dengan izin Allah swt. (Q.S At Taghabun: 11)
  2. Meyakini kalau Allah itu Ada dan Kuasa atas semua yang ada. (Al Hadid: 22). Tidak dapat dipungkiri manusia seringkali merasa Allah itu ada ketika terjadi musibah atau malapetaka dibanding ketika manusia mendapat nikmat.
  3. Kesempatan untuk menikmati hidangan sabar (Al Baqarah: 153). Karena kapan lagi kita bisa mendapat kesempatan sabar? Namun bukan berarti kita mengharapkan musibah agar dapat bersabar lebih banyak. Itu tidak sesuai dengan adab kita pada Allah.  Sebenarnya ujian bersyukur kebih berat daripada ujian bersabar. Mengapa? Coba bayangkan seperti ini, si Fulan mendapat uang 20 juta. Dia pun berucap "saya bersyukur..". Kemana-mana ia mengucapkan hal tersebut tanpa pernah beramal shalih dengan uang tersebut. Tidak pernah  bersedekah atau menolong orang miskin.  Apakah bisa dikatakan Fulan bersyukur? Tidak, itu adalah syukur yang semu. Dibandingkan, Fulanah ketika mendapat musibah, ia berucap "Saya ridho dan ikhlas atas musibah ini. Saya menerima dan serahkan semua pada Allah." Bersabar adalah menerima, dan bersyukur adalah melakukan/bergerak. Bukankah menerima itu jauh lebih mudah dibandingkan dengan harus melakukan.
  1. Menyadari kalau selama ini kita sudah menjauh dari Allah (Al Hadid 23). Dengan musibah kita akan mengevaluasi diri. Ini jauh lebih baik daripada kita menyalah-nyalahkan pihak lain sebagai andil penyebab musibah. Menyalahkan pemimpin bangsa, menyalahkan wakil rakyat, dan lainnya tidak menjadikan kita lebih mulia.
  2. Tadzkirah bahwa kematian bisa datang secara mengejutkan. Kematian adalah kewenangan Allah dan kita tidak dapat menghindar dari takdir.  Kita pun tidak perlu berprasangka buruk atas kematian saudara-saudara kita. "Ah si mbah itu ga mau turun malah ngebuat semakin banyak korban". "Ah si mbah itu pantas saja mati karena disuruh turun ga mau" dan lain sebagainya. Sungguh hal tersebut bukanlah akhlak seorang mukmin.
  3. Menggugah kembali simpati dan empati bahwa kita semua bersaudara.

Maka ungkapkan segala musibah ini dengan bahasa hati, karena itu akan mencerminkan untuhnya jiwa kita. Musibah adalah karunia, seberat apapun musibah. Karena kesakitan dan kesusahan adalah pensuci jiwa. Karena setiap kesakitan adalah penggugur dosa-dosa. Ya, maka kita tidak punya pilihan lain selain ikhlas, ridho, dan bersabar atas segala apa yang Allah beri. :)

Minggu, 24 Oktober 2010

Lalu, mengapa manusia mengikuti hawa nafsu?

Sesungguhnya seseorang  ketika berjalan, tidak akan mungkin mengikuti anak kecil yang tidak tahu apa-apa.
Atau mungkin?
Kita memasuki tempat asing dan kemudian menetapkan diri untuk mengikuti  anak kecil (3 tahun) kemana pun ia pergi?
Mungkin kah?
Tidak mungkin, karena berdasarkan pikiran sehat kita, mengikuti anak kecil tersebut tidak akan membuat kita sampai pada tempat tujuan.
Atau mengikuti orang gila, akankah kita mengikuti dia?
Tentunya juga tidak mungkin.
Tetapi, segila-gilanya seseorang ia tetap manusia yang bahkan diberi kehormatan oleh Allah untuk terlepas dari seluruh kewajiban

Begitulah juga hidup,
Kita tidak mungkin mengikuti hawa nafsu dalam perjalanannya.
Sama halnya kita justru pasti akan menjauh dari orang gila saat di jalan karena khawatir orang tersebut akan mengganggu/menjahati kita.
Tapi dalam kenyatanya, bukankah hal ini seringkali terjadi? Kita mengikuti hawa nafsu secara sadar?
Lalu bagaimana bisa? Sedangkan nafsu itu lebih jahat dari "orang gila" manapun?

Yusuf a,s adalah sosok yang hampir terjerumus dalam godaan hawa nafsu.
Zulaikha mempunyai kecenderungan kepada Yusuf, dan begitu pula sebaliknya.
Zaulaikha menggoda, dan Yusuf, jika tidak ada petunjuk dari Allah ia pasti akan terjerumus pada kenistaan. Yusuf mendapat burhan (petunjuk) hingga ia terlepas dari kejahatan nafsu.

Banyak manusia yang sudah tahu salah (lantaran nafsunya), tetapi tetap dilakukan juga.
Ibarat mau ke Karawang dari jogja, justru ia mengikuti orang lain yang sedang menuju Madiun.
Kita tahu, bahwa track perjalanan kita adalah menuju surga (saja), tetapi sayangnnya banyak dari kita justru melangkah ke arah sebaliknya dengan mengikuti hawa nafsu yang nyata-nyata mengajak ke neraka.
Padahal kita tahu pula, bahwa syaitan kelak akan berlepas diri dari apa yang kita lakukan..

Lalu mengapa manusia tetap mengikuti hawa nafsu?
  1. Tidak dibiasakan dari kecil untuk mendisipilinkan nafsu. Dari kecil segala keinginan selalu dituruti oleh orang tua. Orang semenjak kecilnya selalu dimanja seperti ketika dewasa akan sulit untuk mengendalikan hawa nafsunya. Bagai pohon pepaya yang  bengkok batangnya karena waktu kecil tidak segera diluruskan. Pohon yang seperti ini tidak enak dipandang dan terkadang mengganggu pemandangan dan jalanan. Maka solusinya: harus disiplinkan dari kecil untuk tidak diperturutkan hawanafsunya. Di samping itu kita pun harus pandai-pandai memprediksi setiap amalan yang dilakukan, apakah akan mengakibatkan kebaikan atau keburukan nantinya.
  1. Mujaalasatu (nongkrong-nongkrong) dengan  orang yang senang mengikuti hawa nafsu
  2. Cinta dengan kesenangan dunia.
  3. Dlo'ful ma'rifati billaahi waddaaril aakhiroti (Lemah dalam mengenal Allah dan negeri akhirat). Ibarat lampu yang menyala lemah, ia tidak cukup buat membaca dan cahayanya tidak berpengaruh apa-apa.Orang yang benar-benar mengenal Allah ia akan menyadari Kemahamelihatan Allah sehingga takut untuk melakukan maksiat (memperturuti hawa nafsu). Layaknya orangtua yang kedatangan tamu yang dikenal sangat terhormat. Ketika anaknya rewel, orangtua tentu akan menasihati anak dengan cara sangat yang halus . Tidak akan memarahi anak apalagi membentak atau menjewer si anak. Orang tua berbuat demikian karena tahu benar bahwa tamu yang datang adalah tamu terhormat. Demikian pula ketika kita mengenal Allah dengan sungguh-sungguh maka ia akan malu untuk berbuat yang Allah benci, ia akan malu untuk memperturutkan hawa nafsu.

Sabtu, 23 Oktober 2010

Al Muhlikat: Hal-hal yang merusak jiwa (2)

Jiwa adalah karunia Allah, yang pada awalnya Allah ciptakan begitu sempurna untuk manusia.
Dimanakah jiwa itu sekarang? Jiwa berada dalam raga kita.
Allah sampaikan demikian dalam sumpah-Nya:
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا
Demi jiwa (dengan) segala penyempurnaannya (Q.S. Asy Syams: 7)

Allah tidak pernah bersumpah dengan raga manusia, tetapi dengan jiwa manusia. Tidak pernah Allah menyebut "Demi hidung" atau "demi kaki" atau "demi otak".
Hal ini berarti Allah benar-benar menaruh perhatian khusus bagi jiwa manusia.

Kita lebih sering melihat orang lain dari fisik atau raganya dulu. Berbeda dengan Allah yang melihat manusia hanya dari jiwanya saja.
Mari melihat jiwa.
Jiwa yang utuh akan membuat kita memandang kehidupan secara utuh.
Mari kita lihat apakah jiwa kita utuh atau tidak.
Apa yang kita rasakan jika terjadi perbedaan pendapat? Orang yang jiwanya utuh, akan melihat perbedaan pendapat seperti sarana tuk saling menguatkan.
Misal, ada perbedaan pendapat:

1: Jadilah pohon pisang: pantang mati sebelum mengeluarkan buah
2: Jangan seperti pohon pisang: berbuah Cuma sekali dalam hidupnya.

Mana yang benar? Dua-duanya benar. Maka jiwa yang utuh melihat perbedaan pendapat dengan bijaksana dan dengan bingkai yang lebih menyeluruh.

Apa yang kita pahami tentang hidup?
Coba jawab dengan tepat. Apakah  kita berpikir lama untuk menjawab?
Seorang ibu penjual gudeg jika ditanya, apa yang ibu pahami tentang gudeg?
Tentunya sang ibu akan menjawab dengan cepat, tepat, dan begitu panjang.
Sekarang, jika kita tanya kembali pada diri kita, apa yang kita pahami tentang hidup?
Lancarkah kita menjawab? Jika jawaban kita begitu lama dan bingung, jangan-jangan sebenarnya kita belum memahami esensi dari hidup itu sendiri?
Jangan-jangan kita hanya memahami hidup bahwasannya hanya berdasar raga ini saja.
Padahal pemahaman ini sangat berbahaya.
Misalkan seperti ini,
Ketika kita shalat, bisa jadi shalat hanya persoalan gerakan raga dan bukan pekerjaan jiwa.
Pernah dalam sebuah taklim guru besar, dijelaskan tentang keutamaan shalat awal waktu. Saat usai dijelaskan, salah seorang guru besar bertanya "pak ustadz, kalau seandainya saya ada janjian dengan mahasiswa untuk bimbingan disertasi antara waktu jam 12-15. Jika jam 14.30 itu mahasiswa itu baru datang, tentunya saya tidak akan menyalahkan dia. Bukankah shalat juga seperti itu? Kalau dzuhur antara jam 12-15, maka bukankah tidak salah jika saya shalat jam 14?"
Pertanyaan ini, kita melihat bahwa shalat hanya dipahami sebagai pekerjaan raga. Padahal dalam shalat tidak hanya unsur fiqih (aturan-aturan), tetapi juga ada akhlaknya. Mereka yang menganggap shalat itu pekerjaan raga (saja) menjadikan shalat hanyalah pekerjaan "numpang lewat".

Mari pahami hidup.
Hidup itu  keseluruhannya adalah kebaikan.
Inilah bagian dari kaidah hidup.
Bahwa hidup tak hanya ada pada raga tetapi juga jiwa.
Bahwa hidup keseluruhannya adalah kebaikan.
Tetapi bukankah ada keburukan?
Keburukan yang ada pun ada kebaikan di dalamnya.
Bagaimana bisa?
Yakni dengan meninggalkan keburukan, bukankah akan lahir kebaikan dalam diri kita?
Kebaikan yang luar biasa.

Orang-orang yang jiwanya utuh,
Menjadikan hidupnya sebagai hamparan kesempatan untuk melakukan kebaikan (saja).
Mereka yang jiwanya tak utuh,
Menjadikan hidupnya sebagai hamparan kesempatan untuk melakukan kebaikan dan atau melakukan keburukan.
Orang yg jiwanya utuh,
Ibarat menuangkan air ke dalam gelas yang utuh.
Bukankah kita bisa menuangkan air dengan tenang, karena kita yakin gelas tersebut itu utuh, tidak pecah, tidak retak.
Orang yang jiwanya utuh,
Maka apapun yang dilihat, didengar, dirasakan, dan dialami dalam hidup, selalu menjadi inspirasi untuk berbuat kebaikan.

Apa yang harus kita perbuat agar jiwa ini utuh?
Allah adalah Maha Segala-galanya.
Menciptakan manusia dengan jiwa yang sempurna.
Dan Allah telah pula menciptakan mekanisme agar manusia bisa menjaga keutuhan jiwanya.

Hidup adalah perjalanan
Mari kita pahami logika perjalanan.
Bukankah ketika melakukan perjalanan berarti ada yang kita tinggal dan ada yang kita tuju
Maka apa yang sebenarnya sedang kita tuju dan apa yang sedang kita tinggalkan?
Faktanya, mereka yang utuh jiwanya,
Sedang melakukan perjalanan dari kesenangan dunia menuju kesenangan akhirat.
Meninggalkan kesenangan dunia bukan berarti kesengsaraan, karena Allah akan menggantikannya dengan kesenangan akhirat.
Bukankah sama-sama senang? Yang berbeda hanya dunia atau akhiranya saja.
Dan tidak akan sampai kita pada kesenangan akhirat jika kita masing senang akan dunia.
Ibaratnya kita sedang di jogja mau ke jakarta, hal yang mustahil kita sampai jakarta sedangkan kita masih di jogja.

Mari kita tes diri kita, sampai sejauh mana perjalanan sudah kita tempuh.
Jika kita masih mementingkan nonton bola dibanding shola t malam, maka bisa diartikan kehidupan kita masih jalan di tempat. Belum sampai pada kesenangan akhirat.
Berarti kita ga boleh mengumpulkan harta?
Harta adalah bagian dari dunia. Namun bisa kita gunakan untuk kesenangan akhirat. Bukankah yang menjadi titik persoalan adalah "kesenangan"nya, bukan "harta"nya. Maka bersedekah 1 juta lebih terasa  nikmatnya dibanding bersenang-senang dengan membeli baju 1 juta.
Membaca Al Quran lebih nikmat dibanding membaca komik.
Maka,
Jadikanlah dunia yang kita cintai untuk mengejar surga. Yang cinta ini membuatkita semakin merindu surga. Bukan cinta pada kesenangan dunia, tetapi cinta pada dunia, cinta pada harta, cinta pada uang. Yang dengan harta atau uang yang banyak bisa membuat kita bersedekah sebanyak-banyaknya.

Adapun jiwa-jiwa yang pecah
Akan memandang hidup ini sebagai kesempatan untuk berbuat keburukan.
Jiwa yang rusak memiliki 3 indikasi, yakni:
    • Dhulmun : lebih mengutamakan-mendahulukan kesenangan dunia daripada kesenangan akhirat. Mereka berbuat lebih karena "ingin" bukan karena "butuh". Membeli baju karena ingin, melihat lawan jenis hanya karena ingin, berinternet hanya karena ingin.

 بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا
Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi.
(Q.S Al A'la: 16)

  • Ananiyyun: memandang diri sebagai sosok yang istimewa dan diistimewakan. Merasa susah jika kebagian duduk di belakang. Merasa kesal jika tidak disapa. Merasa menjadi sosok yang harus dihormati.
  • Jahlun: bersahabat dengan sikap dan perbuatan yang tidak mencerahkan hidup di akhirat. Nonton bola, baca komik, tentunya bukan contoh perbuatan yang mencerahkan akhirat kita.


Rangkuman Kajian Jelajah Hati
Ust Syatori AR
Darush Shalihat Yogyakarta,  23 Oktober 2010. 

***

Next: Lebih dalam mengenai indikasi jiwa yang pecah


Sabtu, 16 Oktober 2010

Al Muhlikat: Hal-hal yang merusak jiwa

Al Muhlikat adalah hal-hal yang bisa merusak jiwa
Ini merupakan sisi dari kehidupan manusia. Al Muhlikat merupakan hal yang nyata dalam hidup.
Pada awalnya Allah Ta'ala menciptakan manusia itu dalam keadaan utuh. Jiwa yang sempurna.
Seperti dalam QS Asy Syams : 7
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا
dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),

Seperti apakah jiwa yang utuh itu?
Jiwa yag utuh adalah jiwa yang selalu menginspirasi kita untuk selalu berbuat kebaikan.
Orang yang jiwanya berkeping-keping ia adalah orang yang berkubang keburukan. Jiwanya rusak dan selalu mendapati keburukan walaupun ia ada di dalam kebaikan. Ketika shalat ia tidak mendapatkan mata air kebaikan justru keburukan.
Jiwa yang sempurna senanitiasa memahami bahwa setiap keadaan, yang ada di dalam atau di luar diri kita, adalah ajakan untuk berbuat kebaikan.
Kadang dalam diri kita ada rasa takut dan cemas. Rasa ini sebenarnya adalah ajakan untuk berbuat kebaikan. Siapakah yang meletakkan rasa takut dalam diri atau orang lain? Tentunya Allah-lah yang menciptakan rasa takut dalam diri manusia. Pertanyaannya, ketika Allah meletakkan rasa takut dalam diri, jiwa kita dalam seperti apa? Jiwa yang rusak atau jiwa yang sempurna?
Sebuah cerita.
Ada seseorang yang ke dokter untuk berobat. Dokter itu berkata "saya sudah memahami penyakit Anda. Saya akan memberikan resep untuk tetangga Anda." Wajarnya kita akan merasa aneh "saya yang sakit, kok yang diberi obat tetangga".
Demikian juga, adalah aneh, jika kita suka menyalah-nyalahkan orang lain, padahal yang rusak sebenarnya adalah jiwa diri kita sendiri.
Orang-orang yang jiwanya utuh selalu mendengar pesan-pesan kebaikan, di balik setiap peristiwa yang terjadi di muka bumi. Contohnya, coba kita uji diri kita. Suatu saat kita disambut oleh celaan dan caci maki tiba-tiba. Pesan apakah yang kita dapatkan? Pesan baik atau pesan buruk? Jika kita menganggap itu pesan buruk maka dengan cepat kita akan merespon secara buruk. Sebaliknya, jika kita menganggap itu pesan baik, maka jiwa yang utuh akan berucap "Saudaraku, yang sabar ya... Karena kalau saya tidak seperti ini kepadamu, saudara tidak punya kesempatan untuk sabar"
Orang yang jiwanya sempurna ini, telah merelakan dirinya menjadi jembatan bagi kita menuju keadaan yang lebih baik. Dan kita tahu bahwa menjadi jembatan bukanlah pekerjaan mudah, karena jembatan selalu diinjak-injak.
Orang yang jiwanya utuh memahami perintah Allah untuk senantiasa membalas keburukan dengan kebaikan yang mempesona.
Mereka yang jiwanya utuh, melihat segala peristiwa adalah pesan kebaikan. Ketika sedang melayat, misalnya, ada nasihat bergema di hati, berasal dari keranda mayit "Saudaraku, sekarang saya 'pergi" lebih dahulu. Suatu saat engkau pasti akan "menyusul"ku. Apa yang sudah engkau siapkan?"
Ketika melihat kendaraan baru yang baru saja dimiliki, tiba-tiba kendaraan itu seolah berkata "Kebaikan apa yang sudah Saudara rencanakan bersama saya?"
Ya, mereka yang berjiwa utuh, selalu merasa diingatkan-dinasihati oleh segala peristiwa kehidupan. Bahkan hanya dengan melihat air, tanah, rumah, dan benda apapun.
Mengapa? Karena setiap kejadian sejatinya adalah pemberitahuan dari langit agar kita menjadi pribadi yang lebih baik. Ketika uang hilang, maka tambahlah sedekah. Ketika kenyang, maka tambahlah shalat dan tilawah.
Mereka yang jiwanya utuh, tak ingin melewatkan waktu barang sedetikpun, terlena oleh kesia-siaan. Setiap berjalan sebisa mungkin murojaah Al Quran atau mendengarkan tilawah melalui mp3 yang dimiliki. Tak peduli walau terkadang dijuluki sok alim. Bahkan mereka yang  menuduh demikian justru mendeklarasikan kerusakan jiwanya.
Kerusakan jiwa mengakibatkan kehancuran yang mengerikan.
Kerusakan jiwa adalah bom waktu bagi kemanusiaan manusia.
Terkadang, bahkan, ditengah arus kebaikan ada saja mereka yang rusak jiwanya.
Di atas jiwa yang rusak tidak akan mungkin tumbuh pohon-pohon kehidupan. Betul-betul kering dan gersang. Bagaikan di tengah gurun pasir.

 Indikasi Utuhnya jiwa
Mereka yang utuh jiwanya bagai mengenakan pakaian ihram.
Dengan sangat halus "pakaian ihram" menuntun kita untuk secara alami menanggalkan seluruh dunia yang selama ini "melekat" di hati kita.
Pakaian ihram adalah maklumat kita di hadapan Allah bahwa kita telah sunyi dari segala gemerlap kesenangan dunia, merapat dekat dalam dekap rindu kepada akhirat.
Kesenangan dunia tidak akan bercampur baur dengan kesenangan akhirat. Pasti akan ada yang menang di antara keduanya. Bukankah hal yang tidak mungkin membaca AL Quran sambil mendengarkan musik. Bukankah hal yang tidak mungkin shalat sambil nonton film.

Mereka yang utuh jiwanya bagai sedang berthawaf. Ketika berjuta orang mengelilingi Baitullah, tidak sengaja terinjak merupakan hal yang biasa. Maka mereka yang berthawaf dalam hidupnya, ia senantiasa menganggap biasa terhadap semua kekurangan dan kesusahan hidup di dunia.  Menganggap luar biasa segala kekurangan dan kesusahan untuk hidup di alam akhirat.


Mereka yang utuh jiwanya bagai sedang bersa'i.
Sa'i mengajari kita untuk yakin dengan penjagaan dan pertolongan Allah ta'ala.
Belajar dari kesungguhan Siti Hajar yang terus berlari bolak-balik 7 kali antara bukit shafa dan marwa, mencari air untuk anaknya Ismail. Tak menyerah, tak surut semangat. Sampai kepasrahan muncul di kemampuan terakhir, dan Allah mengkaruniakan air zam-zam sebagai tanda pertolonganNya. Kita menjadi belajar bahwa akhir dari upaya terbaik kita adalah awal bagi turunnya pertolongan Allah Ta'ala.


Sabtu, 09 Oktober 2010

Saatnya kini kita memulai hidup

Lhah, memangnya saat ini kita belum hidup?
Bukankah kita sudah hidup di dunia ini cukup lama?
Memang demikian, tetapi sangat sedikit dari kita  yang memulai hidup..
Sehingga banyak orang hidup yang ternyata belum memulai hidup..
Bingung? Lanjut..

Ibadah Haji adalah miniatur dari hidup, ia menggambarkan miniatur perjalanan hidup manusia.
Hidup itu demikian luasnya, saking luasnya banyak manusia yang tidak mengenali hidupnya. Banyak yang tidak paham arti hidup.
Agar kita paham maka akan lebih mudah jika melihat hidup dalam bentuk yang lebih kecil, yakni Haji.
Ibadah haji adalah kesempatan bagi kita untuk memahami arti dan hakikat makna hidup.
Maka belajarlah tentang haji, agar kita memahami hidup.
Tapi bagaimana jika kita tak bisa mengamalkannya karena tidak ada uang?
Naik haji bukan persoalan finansial, karena banyak orang kaya yang tidak haji, dan banyak orang miskin yang diberi Allah kesempatan berhaji. Karena haji adalah panggilan Allah. Maka tidak ada yang mungkin bagi-Nya untuk memberikan kesempatan berhaji bagi setiap muslim.

Kembali lagi membicarakan hidup,
Ada dua macam hidup:
Hidup bermakna & Hidup yang tidak bermakna
Kebermaknaan hidup itu ada pada batin kita. Siapa yang memahami hakikat makna hidup, maka ia akan merasakan hidup yang penuh makna. Setiap peristiwa dalam hidupnya memiliki makna. Baik sakit maupun sehat, baik kaya maupun miskin. Ada kesabaran, kesyukuran, yang menjadi warna makna yang indah dalam hidupnya.

Seperti kereta api, perjalanan hidup manusia mengenal awal dan akhir.
Memahami hidup dimulai dari melihat sisi akhirnya saja. Apa itu sisi akhir hidup kita? Ketika kita meninggalkah? Benarkah?
Mari kita lihat, mana yang mati ketika kita meninggal? Jasad atau ruhani kita?
Bukankah jasad manusia yang mati dan ruhani kita memulai perjalanan yang baru?
Lalu saat apa ketika perjalanan hidup kita berakhir? Dimanakah perjalanan kita akan berakhir?
Ibarat melakukan perjalanan, nikmatkah ketika kita melakukan perjalanan tanpa tahu kita akan kemana?
Maka sudah benar-benar tahukah kita, dimana perjalanan akhir hidup kita? Dimana awal hidup kita?

Mari kita melihat sisi akhir hidup..
Dimanakah akhir hidup kita?
Akhir hidup manusia adalah ketika melabuh damai dalam rengkuhan ridho Allah ta'ala
Apa ciri manusia yang telah melabuh damai?
Melabuh damai artinya menjaga hati agar selalu berdamai dengan semua apapun yang terjadi dan menimpa hidup kita.
Contoh kecil: saat kita terhenti lampu merah berkali-kali di jalan raya, sempitkah hati kita? Ketika terjebak macet, sumpah serapahkah yang muncul di bibir kita? Jika jawabannya ya, maka kita belum benar-benar melabuh damai.

Apakah untuk melabuh damai kita harus mati dahulu? Tentunya tidak..
Mereka yang hatinya senantiasa rindu dengan kampung akhirat, merekalah yang telah melabuh damai.
Sudah ada surga dalam hati sebelum Allah mengakhiri hidup mereka.
Mereka telah menyelesaikan hidup sebelum hidup itu sendiri berakhir.

Kuburan adalah kumpulan banyak nisan,
Yang menyampaikan pesan untuk semua insan,
Bahwa hidup itu hanya sepisan,
Karena itu jagalan lisan,
Buatlah kesan dan beramallah yang ihsan..

Mereka yang memaknai hidup, maka setiap perbuatannya selalu diliputi makna, bahkan diamnya pun bermakna. Tidak hanya bermakna bagi dirinya tetapi juga bagi orang lain.

Lalu darimanakah kita harus memulai hidup?
Darimana kita telah memulai hidup?
Ketika kita sulit untuk menjawab, maka mungkin kita selalu membuat hidup ini mengalir begitu saja..
Tanpa tahu dan menyadari berawal dan berakhirnya..

Kembali lagi ke haji, mari kita lihat miniatur hidup.
Bagaimanakah awal dari hidup?
Awal yang benar dalam hidup akan menghantarkan kita bisa menyelesaikan hidup sebelum hidup berakhir Dan awal yang benar dalam miniatur hidup adalah IHRAM.
Sebuah kain sederhana yang teramat sederhana tanpa ada tambatan-tambatan hiasan mewah.
Begitu pula awal perjalanan hidup kita..
Secara halus "kain ihram" menuntun kita untuk secara alami menanggalkan seluruh dunia yang selama ini "melekat" di hati kita.

Sayangnya banyak manusia yang tidak memulai hidupnya dengan hal demikian.
Banyak yang  sholat tetapi dalam pikirannya adalah motor barunya.
Banyak yang sedekah tetapi dalam pikirannya mengharapkan pujian.
Padajal "kain ihram" adalah maklumat kita di hadapan Allah bahwa kita telah meninggalkan seluruh gemerlap duniawi yang selama ini melenakan kita dari tujuan hidup sebenarnya. Ia mengajari kita untuk tidak tertarik dengan segala kesenangan hidup di dunia.
Memang menyenangi kesenangan hidup itu wajar atau tidak?
Jika kita menjawab wajar, maka kita belumlah memulai hidup.

Lhah kok bisa? Bukankah senang dengan hal duniawi itu fitrah?
Mari kita lihat kembali definisi kesenangan dunia.
Kesenangan dunia adalah apa saja yang kita senangi dalam hidup ini yang tidak menimbulkan akibat baik untuk kehidupan akhirat kita.
Misal, kesenangan nonton bola. Apakah dengan menonton bola alam kubur kita akan selapang lapangan bola? Orang awam pun akan melapangkan alam kubur. Maka dapat disimpulkan nonton bola adalah kesenangan dunia, bukan akhirat. Demikian juga nonton sinteron, mendengarkan musik-musik yang tidak manfaat untuk akhirat.

 ...وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلا مَتَاعُ الْغُرُورِ

"..Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan."
(Q.S. Ali Imran 185)

Ibaratkan seperti ini,
Ada seseorang yang mempesona, ramah, sopan, daya tariknya luar biasa, dan perangainya sangat teramat baik. Senyum pun dilemparkan olehnya pada kita. Wajarnya, kita akan tertarik pada orang tersebut. Tetapi ada yang mengatakan secara pasti bahwa orang tersebut adalah penipu. Wajarnya, kita justru akan waspada terhadap senyum orang tersebut. Bagaimana jika ada orang yang tetap mengikuti kata orang "penipu" tersebut? Tentunya kita akan menganggap orang tersebut aneh dan tidak wajar.
Begitupula dunia... Ia adalah penipu, justru akan aneh jika ada orang yang tahu bahwa ia penipu namun masih tetap menyenanginya.

Lalu bukankah gersang sekali hidup tanpa kesenangan dunia?
Tidak, karena Allah akan mengganti kesenangan kita pada dunia dengan kesenangan pada akhirat. Allah akan membuat kesenangan nonton bola tergantikan dengan kesenangan membaca Al Quran.
Bukankah dalam hidup itu kita lebih mencari ketenangan daripada kesenangan?
Bukankah banyak orang yang dilingkupi kesenangan duniawi namun jauh dari ketenangan hidup?

Maka pilihlah kesenangan akhirat, jadikan itu awal dari hidup kita..
Ibarat kita memakai ihram dalam memulai perjalan hidup ini..
Sederhana, suci, dan bermakna..


---
Kajian Jelajah Hati bersama Ust Syatori AR, 
Sabtu, 9 Oktober 2010

Menyelami Kedalaman Samudra Surat Al Mulk

Surat Al Mulk adalah surat yang kesluruhannya diturunkan di Makkah. Surat ini sering disebut dengan nama Tabarrok, karena orang Indonesia memang punya kebiasaan menyebut nama surat dari lafadz di depannya. Lalu mengapa kita perlu mengkaji surat ini? Karena surat Al Mulk adalah salah satu surat yang memiliki perhatian khusus dari para ulama.  Maka merupakan anjuran bagi umat muslim untuk bahkan menghapalkannya. Semoga kita termasuk diantaranya.
Lalu mengapa harus Al Mulk?
Rasulullah saw:
Sungguh ada satu surat di dalam Al Quran, yang jumlahnya 30 ayat, yang akan menolong (memberi syafaat) terhadap shohib surat hingga diampuni dosa-dosanya, yakni surat "tabaarokalladzii biyadihil mulku..."
(HR Imam Ahmad dari Abu Hurairah)

Siapakah shohib dari surat Al Mulk ini?
Semoga kita masuk di dalamnya.
Shohib ini memiliki tingkatan, yakni:

  1. Mereka yang senang mendengar surat tersebut dibacakan. Rasa senang ini muncul tanpa kenal waktu. Ini adalah tingkatan paling rendah
  2. Mereka yang senang membacanya. Indikator senang, yakni ketika ada waktu kosong kita selalu ingin membacanya. Selalu mencari kesempatan untuk membacanya. Mereka merasa tidak cukup hanya mendengar, tetapi membacanya merupakan kepuasan tersendiri.
  3. Mereka yang senang menghafalkannya. Mereka tidak perlu mencari mushaf ketika ingin membaca surat Tabarok. Cukup mengandalkan ingatan, maka mereka bisa mengulang-ulang surat tersebut sebagai tanda cinta. Alasan usia tidak menjadi alasan bagi mereka untuk berusaha menghapal, dan memang  usia tidak bisa dijadikan alasan sebagai penghalang menghafal. Mereka yg tidak mau menghapal alasannya Cuma ada 2, yakni memang banyak dosa dan yang kedua malas murojaah
  4. Mereka yang senang mempelajarinya
  5. Mereka yang senang mengamalkannya
  6. Mereka yang mengajarkannya


 Mereka, para shohib AL Mulk, diampuni benar-benar dosa-dosa mereka sampai tidak dianggap tidak pernah melakukan dosa tersebut.

سورة في القران خاصمت عن صاحبها حتّى أدخلته الجنّة تبارك الّذي بيده الملك...

(HR Thabrani dari Anas bin Malik)

Sahabat Rasulullah ini didoakan Rasulullah agar dikaruniai harta yang melimpah, keturunan yang banyak, dan dijadikan keturunannya generasi Sholih-sholihah. Dan Allah benar-benar mengijabah doa Rasulullah saw. Jumlah putra beliau 124 anak, dan semua keturunan beliau sholih - sholihah, bahkan menjadi ulama. Maka ketika membaca doa-doa rasulullah maka yakinkan diri kita termasuk dalam orang-orang yang didoakan oleh beliau...  Maka ketika Rasulullah mendoakan shohib surat Al Mulk, maka jadikan diri kita termasuk dalam barisan itu..

Surat Tabarok adalah surat yang mencegah dan menyelamatkan, dari azab kubur
(HR

Tafsir Al Mulk ayat 1
تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
------

تَبَارَكَ : Maha berkah, Maha Suci
 بِيَدِهِ : yang dalam genggamannya
الْمُلْكُ : terdapat segala kerajaan
Setiap orang pasti memahami, yang dimaksud Penggenggam Kerajaan adalah Allah Ta'ala..
Term kata "Maha Berkah" dan "Maha Suci" disini tidak membutuhkan objek, namun bukan berarti bermakna pasif, ada makna aktif didalamnya. Maha Berkah menunjukkan bahwa Allah adalah satu-satunya pemberi keberkahan, pelimpah kesucian.  Maka bisa dikatakan Allah-lah yang Maha Memberkahi, Maha Mensucikan..
Dalam term "Allah Maha Memberkahi" dan "Allah Maha Mensucikan"  tentunya pasti ada objek "yang diberkahi" dan "objek yang disucikan".
Allah-lah adalah sumber dari segala keberkahan dan kesucian. Dan tidak ada yang dapat memberkahi  dan mensucikan selain Allah Azza wa Jalla.
Siapapun yang mendamba keberkahan dan kesucian, maka ia harus mendekatan diri pada sumbernya, yakni Allah swt.

Lalu apa yang dimaksud dengan Barokah?

زيادة الخير على الخير

Bertambahnya kebaikan atas kebaikan

Bagaimana agar keberkahan itu hadir?
Jadikan setiap perbuatan itu menyertakan Allah di hati. Jadikan setiap nafas kita tak luput dari amal sholih.

Next: Menjemput Barakah Allah