Sabtu, 30 Oktober 2010

Memahami Musibah dengan Bahasa Hati

Allah swt mengaruniakan jiwa manusia dalam keadaan utuh, sebagaimana tertulis di Al Quran Q.S Asy Syams: 7. Jika manusia sudah rusak jiwanya, maka akan rusak pula kemanusiaannya.  Maka mereka yang rusak jiwanya, tidak terlihat lagi ia sebagai manusia yang utuh.

Jiwa yang utuh akan membuat kita memandang hidup ini secara utuh. Orang yang melihat hidup tidak utuh maka ia akan mudah mengalami kesalahan persepsi, karena hanya melihat sesuatu hanya dari satu sisi saja.

Jiwa yang utuh memandang musibah tidak dengan kesusahan hati. Yang dekat dengan kita saat ini, adalah hujan abu. Tidak ada orang yang bersukaria dengan hujan abu. Namun orang yang utuh jiwanya akan merasa ini adalah kenikmatan, karena Allah membelajarkan pada mereka akan nikmatnya udara bersih. Mereka tidak akan menyesalkan apa yang terjadi dari hujan abu.


Ya.
Hari ini, empat hari yang lalu, gunung yang nampak tenang itu tiba-tiba bergemuruh berguncang, membawa kedahsyatan yang memalapetaka. Tiba-tiba saja puluhan tubuh terkulai lemas tak berdaya.
Kita pun hanya bisa menengadah sembari berkata " Ya Allah kami hanya pasrah kepada-Mu... Maafkan kami... Terimalah mereka yang berpulang pada-Mu dengan melapangkan alam kubur mereka.."

Betapa debu yang halus dapat meluluhlantakkan kehijauan di puncak gunung. Betapa debu yang halus dapat membekukan hewan-hewan.  Lalu bagaimana jiwa yang utuh memandang hal ini ?
Jiwa yang utuh memahami musibah dengan bahasa hati.

Kalimat-kalimat media banyak yang mengutarakan berita dengan tidak menggunakan bahasa hati, coba perhatikan:
"Jumlah korban tewas telah mencapai ratusan jiwa akibat dari keganasan merapi"
Apa yang kita rasakan? Nyamankah hati kita?
Coba bayangkan mereka yang menjadi korban bencana membaca hal ini. Seolah mereka diajak untuk tidak ridho terhadap kehendak Allah. Seolah menyalahkan merapi atas kengerian yang terjadi. Lalu bagaimanakah bahasa hati?
Ketika mendapati pagi hari dengan rumah dan halaman serta jalanan terselimuti abu, bahasa hati akan mengungkapkan:
"Subhanallah, astagfirullah.. Maha Kuasa Engkau ya Allah, Engkau lah yang berkuasa membawa abu yang jauh hingga ke tempat kami"

Musibah adalah cara Allah agar kita "berkesempatan" untuk berbicara dengan bahasa hati, melebihi bahasa akal rasionalitas manusia. Beginilah bahasa hati yang sebenarnya:
  1. Hati menyadari bahwa musibah ini terjadi dengan izin Allah swt. (Q.S At Taghabun: 11)
  2. Meyakini kalau Allah itu Ada dan Kuasa atas semua yang ada. (Al Hadid: 22). Tidak dapat dipungkiri manusia seringkali merasa Allah itu ada ketika terjadi musibah atau malapetaka dibanding ketika manusia mendapat nikmat.
  3. Kesempatan untuk menikmati hidangan sabar (Al Baqarah: 153). Karena kapan lagi kita bisa mendapat kesempatan sabar? Namun bukan berarti kita mengharapkan musibah agar dapat bersabar lebih banyak. Itu tidak sesuai dengan adab kita pada Allah.  Sebenarnya ujian bersyukur kebih berat daripada ujian bersabar. Mengapa? Coba bayangkan seperti ini, si Fulan mendapat uang 20 juta. Dia pun berucap "saya bersyukur..". Kemana-mana ia mengucapkan hal tersebut tanpa pernah beramal shalih dengan uang tersebut. Tidak pernah  bersedekah atau menolong orang miskin.  Apakah bisa dikatakan Fulan bersyukur? Tidak, itu adalah syukur yang semu. Dibandingkan, Fulanah ketika mendapat musibah, ia berucap "Saya ridho dan ikhlas atas musibah ini. Saya menerima dan serahkan semua pada Allah." Bersabar adalah menerima, dan bersyukur adalah melakukan/bergerak. Bukankah menerima itu jauh lebih mudah dibandingkan dengan harus melakukan.
  1. Menyadari kalau selama ini kita sudah menjauh dari Allah (Al Hadid 23). Dengan musibah kita akan mengevaluasi diri. Ini jauh lebih baik daripada kita menyalah-nyalahkan pihak lain sebagai andil penyebab musibah. Menyalahkan pemimpin bangsa, menyalahkan wakil rakyat, dan lainnya tidak menjadikan kita lebih mulia.
  2. Tadzkirah bahwa kematian bisa datang secara mengejutkan. Kematian adalah kewenangan Allah dan kita tidak dapat menghindar dari takdir.  Kita pun tidak perlu berprasangka buruk atas kematian saudara-saudara kita. "Ah si mbah itu ga mau turun malah ngebuat semakin banyak korban". "Ah si mbah itu pantas saja mati karena disuruh turun ga mau" dan lain sebagainya. Sungguh hal tersebut bukanlah akhlak seorang mukmin.
  3. Menggugah kembali simpati dan empati bahwa kita semua bersaudara.

Maka ungkapkan segala musibah ini dengan bahasa hati, karena itu akan mencerminkan untuhnya jiwa kita. Musibah adalah karunia, seberat apapun musibah. Karena kesakitan dan kesusahan adalah pensuci jiwa. Karena setiap kesakitan adalah penggugur dosa-dosa. Ya, maka kita tidak punya pilihan lain selain ikhlas, ridho, dan bersabar atas segala apa yang Allah beri. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar