Sabtu, 16 Oktober 2010

Al Muhlikat: Hal-hal yang merusak jiwa

Al Muhlikat adalah hal-hal yang bisa merusak jiwa
Ini merupakan sisi dari kehidupan manusia. Al Muhlikat merupakan hal yang nyata dalam hidup.
Pada awalnya Allah Ta'ala menciptakan manusia itu dalam keadaan utuh. Jiwa yang sempurna.
Seperti dalam QS Asy Syams : 7
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا
dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),

Seperti apakah jiwa yang utuh itu?
Jiwa yag utuh adalah jiwa yang selalu menginspirasi kita untuk selalu berbuat kebaikan.
Orang yang jiwanya berkeping-keping ia adalah orang yang berkubang keburukan. Jiwanya rusak dan selalu mendapati keburukan walaupun ia ada di dalam kebaikan. Ketika shalat ia tidak mendapatkan mata air kebaikan justru keburukan.
Jiwa yang sempurna senanitiasa memahami bahwa setiap keadaan, yang ada di dalam atau di luar diri kita, adalah ajakan untuk berbuat kebaikan.
Kadang dalam diri kita ada rasa takut dan cemas. Rasa ini sebenarnya adalah ajakan untuk berbuat kebaikan. Siapakah yang meletakkan rasa takut dalam diri atau orang lain? Tentunya Allah-lah yang menciptakan rasa takut dalam diri manusia. Pertanyaannya, ketika Allah meletakkan rasa takut dalam diri, jiwa kita dalam seperti apa? Jiwa yang rusak atau jiwa yang sempurna?
Sebuah cerita.
Ada seseorang yang ke dokter untuk berobat. Dokter itu berkata "saya sudah memahami penyakit Anda. Saya akan memberikan resep untuk tetangga Anda." Wajarnya kita akan merasa aneh "saya yang sakit, kok yang diberi obat tetangga".
Demikian juga, adalah aneh, jika kita suka menyalah-nyalahkan orang lain, padahal yang rusak sebenarnya adalah jiwa diri kita sendiri.
Orang-orang yang jiwanya utuh selalu mendengar pesan-pesan kebaikan, di balik setiap peristiwa yang terjadi di muka bumi. Contohnya, coba kita uji diri kita. Suatu saat kita disambut oleh celaan dan caci maki tiba-tiba. Pesan apakah yang kita dapatkan? Pesan baik atau pesan buruk? Jika kita menganggap itu pesan buruk maka dengan cepat kita akan merespon secara buruk. Sebaliknya, jika kita menganggap itu pesan baik, maka jiwa yang utuh akan berucap "Saudaraku, yang sabar ya... Karena kalau saya tidak seperti ini kepadamu, saudara tidak punya kesempatan untuk sabar"
Orang yang jiwanya sempurna ini, telah merelakan dirinya menjadi jembatan bagi kita menuju keadaan yang lebih baik. Dan kita tahu bahwa menjadi jembatan bukanlah pekerjaan mudah, karena jembatan selalu diinjak-injak.
Orang yang jiwanya utuh memahami perintah Allah untuk senantiasa membalas keburukan dengan kebaikan yang mempesona.
Mereka yang jiwanya utuh, melihat segala peristiwa adalah pesan kebaikan. Ketika sedang melayat, misalnya, ada nasihat bergema di hati, berasal dari keranda mayit "Saudaraku, sekarang saya 'pergi" lebih dahulu. Suatu saat engkau pasti akan "menyusul"ku. Apa yang sudah engkau siapkan?"
Ketika melihat kendaraan baru yang baru saja dimiliki, tiba-tiba kendaraan itu seolah berkata "Kebaikan apa yang sudah Saudara rencanakan bersama saya?"
Ya, mereka yang berjiwa utuh, selalu merasa diingatkan-dinasihati oleh segala peristiwa kehidupan. Bahkan hanya dengan melihat air, tanah, rumah, dan benda apapun.
Mengapa? Karena setiap kejadian sejatinya adalah pemberitahuan dari langit agar kita menjadi pribadi yang lebih baik. Ketika uang hilang, maka tambahlah sedekah. Ketika kenyang, maka tambahlah shalat dan tilawah.
Mereka yang jiwanya utuh, tak ingin melewatkan waktu barang sedetikpun, terlena oleh kesia-siaan. Setiap berjalan sebisa mungkin murojaah Al Quran atau mendengarkan tilawah melalui mp3 yang dimiliki. Tak peduli walau terkadang dijuluki sok alim. Bahkan mereka yang  menuduh demikian justru mendeklarasikan kerusakan jiwanya.
Kerusakan jiwa mengakibatkan kehancuran yang mengerikan.
Kerusakan jiwa adalah bom waktu bagi kemanusiaan manusia.
Terkadang, bahkan, ditengah arus kebaikan ada saja mereka yang rusak jiwanya.
Di atas jiwa yang rusak tidak akan mungkin tumbuh pohon-pohon kehidupan. Betul-betul kering dan gersang. Bagaikan di tengah gurun pasir.

 Indikasi Utuhnya jiwa
Mereka yang utuh jiwanya bagai mengenakan pakaian ihram.
Dengan sangat halus "pakaian ihram" menuntun kita untuk secara alami menanggalkan seluruh dunia yang selama ini "melekat" di hati kita.
Pakaian ihram adalah maklumat kita di hadapan Allah bahwa kita telah sunyi dari segala gemerlap kesenangan dunia, merapat dekat dalam dekap rindu kepada akhirat.
Kesenangan dunia tidak akan bercampur baur dengan kesenangan akhirat. Pasti akan ada yang menang di antara keduanya. Bukankah hal yang tidak mungkin membaca AL Quran sambil mendengarkan musik. Bukankah hal yang tidak mungkin shalat sambil nonton film.

Mereka yang utuh jiwanya bagai sedang berthawaf. Ketika berjuta orang mengelilingi Baitullah, tidak sengaja terinjak merupakan hal yang biasa. Maka mereka yang berthawaf dalam hidupnya, ia senantiasa menganggap biasa terhadap semua kekurangan dan kesusahan hidup di dunia.  Menganggap luar biasa segala kekurangan dan kesusahan untuk hidup di alam akhirat.


Mereka yang utuh jiwanya bagai sedang bersa'i.
Sa'i mengajari kita untuk yakin dengan penjagaan dan pertolongan Allah ta'ala.
Belajar dari kesungguhan Siti Hajar yang terus berlari bolak-balik 7 kali antara bukit shafa dan marwa, mencari air untuk anaknya Ismail. Tak menyerah, tak surut semangat. Sampai kepasrahan muncul di kemampuan terakhir, dan Allah mengkaruniakan air zam-zam sebagai tanda pertolonganNya. Kita menjadi belajar bahwa akhir dari upaya terbaik kita adalah awal bagi turunnya pertolongan Allah Ta'ala.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar