Sabtu, 23 Oktober 2010

Al Muhlikat: Hal-hal yang merusak jiwa (2)

Jiwa adalah karunia Allah, yang pada awalnya Allah ciptakan begitu sempurna untuk manusia.
Dimanakah jiwa itu sekarang? Jiwa berada dalam raga kita.
Allah sampaikan demikian dalam sumpah-Nya:
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا
Demi jiwa (dengan) segala penyempurnaannya (Q.S. Asy Syams: 7)

Allah tidak pernah bersumpah dengan raga manusia, tetapi dengan jiwa manusia. Tidak pernah Allah menyebut "Demi hidung" atau "demi kaki" atau "demi otak".
Hal ini berarti Allah benar-benar menaruh perhatian khusus bagi jiwa manusia.

Kita lebih sering melihat orang lain dari fisik atau raganya dulu. Berbeda dengan Allah yang melihat manusia hanya dari jiwanya saja.
Mari melihat jiwa.
Jiwa yang utuh akan membuat kita memandang kehidupan secara utuh.
Mari kita lihat apakah jiwa kita utuh atau tidak.
Apa yang kita rasakan jika terjadi perbedaan pendapat? Orang yang jiwanya utuh, akan melihat perbedaan pendapat seperti sarana tuk saling menguatkan.
Misal, ada perbedaan pendapat:

1: Jadilah pohon pisang: pantang mati sebelum mengeluarkan buah
2: Jangan seperti pohon pisang: berbuah Cuma sekali dalam hidupnya.

Mana yang benar? Dua-duanya benar. Maka jiwa yang utuh melihat perbedaan pendapat dengan bijaksana dan dengan bingkai yang lebih menyeluruh.

Apa yang kita pahami tentang hidup?
Coba jawab dengan tepat. Apakah  kita berpikir lama untuk menjawab?
Seorang ibu penjual gudeg jika ditanya, apa yang ibu pahami tentang gudeg?
Tentunya sang ibu akan menjawab dengan cepat, tepat, dan begitu panjang.
Sekarang, jika kita tanya kembali pada diri kita, apa yang kita pahami tentang hidup?
Lancarkah kita menjawab? Jika jawaban kita begitu lama dan bingung, jangan-jangan sebenarnya kita belum memahami esensi dari hidup itu sendiri?
Jangan-jangan kita hanya memahami hidup bahwasannya hanya berdasar raga ini saja.
Padahal pemahaman ini sangat berbahaya.
Misalkan seperti ini,
Ketika kita shalat, bisa jadi shalat hanya persoalan gerakan raga dan bukan pekerjaan jiwa.
Pernah dalam sebuah taklim guru besar, dijelaskan tentang keutamaan shalat awal waktu. Saat usai dijelaskan, salah seorang guru besar bertanya "pak ustadz, kalau seandainya saya ada janjian dengan mahasiswa untuk bimbingan disertasi antara waktu jam 12-15. Jika jam 14.30 itu mahasiswa itu baru datang, tentunya saya tidak akan menyalahkan dia. Bukankah shalat juga seperti itu? Kalau dzuhur antara jam 12-15, maka bukankah tidak salah jika saya shalat jam 14?"
Pertanyaan ini, kita melihat bahwa shalat hanya dipahami sebagai pekerjaan raga. Padahal dalam shalat tidak hanya unsur fiqih (aturan-aturan), tetapi juga ada akhlaknya. Mereka yang menganggap shalat itu pekerjaan raga (saja) menjadikan shalat hanyalah pekerjaan "numpang lewat".

Mari pahami hidup.
Hidup itu  keseluruhannya adalah kebaikan.
Inilah bagian dari kaidah hidup.
Bahwa hidup tak hanya ada pada raga tetapi juga jiwa.
Bahwa hidup keseluruhannya adalah kebaikan.
Tetapi bukankah ada keburukan?
Keburukan yang ada pun ada kebaikan di dalamnya.
Bagaimana bisa?
Yakni dengan meninggalkan keburukan, bukankah akan lahir kebaikan dalam diri kita?
Kebaikan yang luar biasa.

Orang-orang yang jiwanya utuh,
Menjadikan hidupnya sebagai hamparan kesempatan untuk melakukan kebaikan (saja).
Mereka yang jiwanya tak utuh,
Menjadikan hidupnya sebagai hamparan kesempatan untuk melakukan kebaikan dan atau melakukan keburukan.
Orang yg jiwanya utuh,
Ibarat menuangkan air ke dalam gelas yang utuh.
Bukankah kita bisa menuangkan air dengan tenang, karena kita yakin gelas tersebut itu utuh, tidak pecah, tidak retak.
Orang yang jiwanya utuh,
Maka apapun yang dilihat, didengar, dirasakan, dan dialami dalam hidup, selalu menjadi inspirasi untuk berbuat kebaikan.

Apa yang harus kita perbuat agar jiwa ini utuh?
Allah adalah Maha Segala-galanya.
Menciptakan manusia dengan jiwa yang sempurna.
Dan Allah telah pula menciptakan mekanisme agar manusia bisa menjaga keutuhan jiwanya.

Hidup adalah perjalanan
Mari kita pahami logika perjalanan.
Bukankah ketika melakukan perjalanan berarti ada yang kita tinggal dan ada yang kita tuju
Maka apa yang sebenarnya sedang kita tuju dan apa yang sedang kita tinggalkan?
Faktanya, mereka yang utuh jiwanya,
Sedang melakukan perjalanan dari kesenangan dunia menuju kesenangan akhirat.
Meninggalkan kesenangan dunia bukan berarti kesengsaraan, karena Allah akan menggantikannya dengan kesenangan akhirat.
Bukankah sama-sama senang? Yang berbeda hanya dunia atau akhiranya saja.
Dan tidak akan sampai kita pada kesenangan akhirat jika kita masing senang akan dunia.
Ibaratnya kita sedang di jogja mau ke jakarta, hal yang mustahil kita sampai jakarta sedangkan kita masih di jogja.

Mari kita tes diri kita, sampai sejauh mana perjalanan sudah kita tempuh.
Jika kita masih mementingkan nonton bola dibanding shola t malam, maka bisa diartikan kehidupan kita masih jalan di tempat. Belum sampai pada kesenangan akhirat.
Berarti kita ga boleh mengumpulkan harta?
Harta adalah bagian dari dunia. Namun bisa kita gunakan untuk kesenangan akhirat. Bukankah yang menjadi titik persoalan adalah "kesenangan"nya, bukan "harta"nya. Maka bersedekah 1 juta lebih terasa  nikmatnya dibanding bersenang-senang dengan membeli baju 1 juta.
Membaca Al Quran lebih nikmat dibanding membaca komik.
Maka,
Jadikanlah dunia yang kita cintai untuk mengejar surga. Yang cinta ini membuatkita semakin merindu surga. Bukan cinta pada kesenangan dunia, tetapi cinta pada dunia, cinta pada harta, cinta pada uang. Yang dengan harta atau uang yang banyak bisa membuat kita bersedekah sebanyak-banyaknya.

Adapun jiwa-jiwa yang pecah
Akan memandang hidup ini sebagai kesempatan untuk berbuat keburukan.
Jiwa yang rusak memiliki 3 indikasi, yakni:
    • Dhulmun : lebih mengutamakan-mendahulukan kesenangan dunia daripada kesenangan akhirat. Mereka berbuat lebih karena "ingin" bukan karena "butuh". Membeli baju karena ingin, melihat lawan jenis hanya karena ingin, berinternet hanya karena ingin.

 بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا
Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi.
(Q.S Al A'la: 16)

  • Ananiyyun: memandang diri sebagai sosok yang istimewa dan diistimewakan. Merasa susah jika kebagian duduk di belakang. Merasa kesal jika tidak disapa. Merasa menjadi sosok yang harus dihormati.
  • Jahlun: bersahabat dengan sikap dan perbuatan yang tidak mencerahkan hidup di akhirat. Nonton bola, baca komik, tentunya bukan contoh perbuatan yang mencerahkan akhirat kita.


Rangkuman Kajian Jelajah Hati
Ust Syatori AR
Darush Shalihat Yogyakarta,  23 Oktober 2010. 

***

Next: Lebih dalam mengenai indikasi jiwa yang pecah


1 komentar:

  1. Bagus Dan Sangat Menggugah Jiwa yang Gelap menjadi manusia yang jiwanya terang

    BalasHapus